Page Nav

HIDE

Grid

GRID_STYLE

Classic Header

{fbt_classic_header}

Header

//

Breaking News:

latest

PENUNDAAN PILKADA AKIBAT PANDEMI GLOBAL COVID 19

Rusdianto Sudirman,S.H,M.H (Pengajar Hukum Tata Negara IAIN Parepare ) Setelah melaksanakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara DPR ...

Rusdianto Sudirman,S.H,M.H
(Pengajar Hukum Tata Negara IAIN Parepare)

Setelah melaksanakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara DPR , pemerintah diwakili Mendagri, KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)pada tanggal 30 Maret 2020 telah disepakati empat kesimpulan yang pada intinya menghasilkan kesepakatan bersama untuk menunda pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) serentak tahun 2020.

Tentu ini merupakan upaya seluruh komponen bangsa untuk mengalihkan segala perhatian penuh pemerintah baik pusat maupun daerah untuk mengatasi penyebaran virus korona atau covid-19 yang makin mengkhawatirkan.

Penundaan pilkada bukanlah upaya menghambat proses demokrasi ataupun peralihan kekuasaan di daerah. Hal itu semata karena pertimbangan kesehatan dan keselamatan warga negara yang dapat terancam tertular virus covid 19 apabila tahapan pilkada tetap dilanjutkan karena penyelenggara dan peserta pemilihan harus berinteraksi dengan banyak orang.

Sebelumnya, KPU telah mengeluarkan surat keputusan penundaan tahapan Pilkada 2020. Ada tiga tahapan yang ditunda dan itu penting yaitu pelantikan Panitia Pemungutan Suara (PPS), verifikasi bakal calon perseorangan serta rekrutmen Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) dan pencocokan, dan penelitian (coklit) data pemilih.

Menurut penulis, ketiga tahapan tersebut penting dan tidak dapat digabung. Pertama, tahap pembentukan dan pelantikan PPS itu adalah perintah Undang-Undang, karena PPS merupakan ujung tombak penyelenggara di tinggat Desa/Kelurahan yang nantinya menunjuk Petugas  PPDP untuk dilaksanakan coklit data pemilih sehingga untuk menghitung ada berapa data pemilih? ada dimana? kotak suara berapa? TPS berapa? Jika semua tahapan itu ditunda entah sampai kapan penyelenggara berada dalam ketidakpastian hukum.  Dan yang lebih urgent saat ini  belum ada kepastian perlindungan penyelenggara. Bagaimana jaminan kesehatan saat petugas coklit bertemu dengan ratusan ribu masyarakat terlebih saat ini terdapat virus corona atau Covid-19 yang tersebar.

Kedua, calon perseorangan ada 147 calon perseorangan di seluruh Indonesia, apakah mereka berhak menjadi calon dan proses penentuan berapa jumlah pemilihnya. Semua itu harus dipikirkan jangka panjangnya oleh pemerintah. Semua itu bisa terlaksana kalau ada penundaan.

Urgensi Perppu Penundaan Pilkada

Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk menunda penyelenggaraan Pilkada 2020 dinilai sudah memenuhi syarat untuk diterbitkan Presiden, mengingat pandemi global Covid-19 yang sudah menyebar di 34 provinsi sehingga berpotensi mengancam seluruh warga negara di seluruh wilayah Indonesia.

Sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia, menerbitkan Perppu sebagai instrumen hukum untuk mengakomodir aspirasi rakyat dan menyelamatkan negara dari keadaan genting (darurat) untuk mengatasi pandemi global covid 19 tentu pilihan yang harus dilakukan Presiden. Secara teoritis, tindakan-tindakan Presiden tersebut berlandaskan pada teori hukum darurat negara (staatsnoodrecht). Staatsnoodrecht berarti keadaan darurat negara sehingga hukum yang berlaku adalah hukum yang memang dimaksudkan untuk berlaku dalam keadaan darurat (Jimly Asshiddiqie, 2007).

Meskipun begitu sebelum mengeluarkan Perppu Penundaan Pilkada, Presiden juga harus tunduk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 yang mengatur Syarat lahirnya Perppu adalah kegentingan yang memaksa. Apa itu kegentingan yang memaksa? Kewenangan Presiden membuat Perppu lahir dari Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang -undang. Namun apa yang dimaksud ‘kegentingan yang memaksa’? Tidak dijelaskan dalam UUD 1945.

Menurut putusan MK 138/PUU-VII/2009, tafsir kegentingan yang memaksa adalah:
1.Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.
2.Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.
3.Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Jika berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 138 PUU/VIII/2009 di atas syarat untuk dapat dikeluarkannya perppu yaitu Pertama, kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Jika memperhatikan Pasal 201 Ayat 6 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang menyatakan, Pilkada dijadwalkan pada bulan September 2020 , maka dapat dipastikan  tidak mungkin dilaksanakan dan menimbulkan masalah. Sehingga harus diselesaikan  sesuai UU,  sementara KPU tidak berwenang membuat  ataupun merubah UU sehingga Presiden harus mengeluarkan Perppu agar jadwal pelaksanaan Pilkada mempunyai kepastian hukum yang jelas.

Kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada UU tapi tidak menyelesaikan masalah. UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, tidak dapat menyelesaikan masalah karena tidak memiliki ketentuan  yang memberikan alternatif yang mengatur proses penyelenggaraan pilkada apabila terjadi bencana dengan waktu yang tidak pasti. Ketidakpastian yang dimaksud adalah soal pandemi Covid-19 yang tidak memiliki kepastian kapan akan berakhir.

Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan membuat UU secara prosedur biasa karena menggunakan waktu yang cukup lama. Jika opsi yang di usulkan KPU menunda Pilkada 2020 selama 1 tahun tentu tidak sejalan dengan Putusan MK karena jika berdasar pada putusan MK, keadaan mendesak harus diselesaikan seketika itu juga. Jadi  perlu kepastian hukum agar problematika yang dihadapi menjelang tahapan Pilkada bisa diselesaikan dan penyelenggara bisa memikirkan hal-hal lain untuk proses penyelenggaraan ke depannya.

Oleh karena itu, ketiga syarat tersebut di atas sudah sangat memungkinkan untuk Presiden menyatakan bahwa telah ada hal ihwal kegentingan memaksa. Dengan demikian, diperlukan Perppu untuk menyelamatkan proses penyelenggaraan pilkada agar pelaksanaan pesta demokrasi di daerah serta pemenuhan hak memilih dan di pilih  setiap warga negara mempunyai landasan yuridis yang jelas.

Opsi penundaan Pilkada

Dalam Rapat Dengar Pendapat bersama DPR dan Pemerintah. KPU menawarkan tiga opsi penundaan, berupa opsi A, opsi B, dan opsi C. Opsi A, hari pemungutan suara pada Rabu, 9 Desember 2020 (ditunda tiga bulan). Opsi B, Rabu, 17 Maret 2021 (ditunda enam bulan). Lalu opsi C pada Rabu, 29 September 2021 (ditunda satu tahun).

Perubahan jadwal Pilkada 2020 mesti menghitung semua implikasi teknis terhadap penyelenggara pemilu, peserta, dan pemilih. Bahkan, perlu dipikirkan opsi lain, selain tiga opsi yang di tawarkan oleh KPU. materi muatan dalam Perppu idealnya juga sekaligus melakukan penataan terhadap jadwal pilkada secara keseluruhan dengan memperhatikan desain pemilu serentak berdasarkan Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019

Dalam putusan tersebut, MK menyatakan, bahwa pemilu serentak adalah pemilu yang konstitusional. Selain itu, desain pemilu Indonesia kedepan tidak boleh memisahkan Pemilu Presiden, DPR, dan DPD. Terkait dengan pemilihan kepala daerah dan DPRD, MK memberikan 6 pilihan jadwal pelaksanaan pemilu. Di dalam pilihan-pilihan tersebut, MK membuka kemungkinan menggabungkan jadwal pelaksanaan pilkada dengan pemilu lainnya. Baik menggabungkannya dengan pemilu nasional (Presiden, DPR, DPRD), atau tetap berdiri sendiri, atau bahkan menyelenggarakannya berbarengan dengan DPRD.

Salah satu pilihan jadwal pemilu yang disebutkan oleh MK dalam putusan No. 55/PUU-XVII/2019 adalah pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal. Pemilu serentak nasional melaksanakan pemilu Presiden dan Wakil Presiden, DPR, dan DPD secara bersamaan. Lalu setelah pemilu serentak nasional, dilaksanakan pemilu serentak lokal untuk memilih Gubernur, Bupati/Walikota, serentak dengan pemilihan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

Menurut penulis, pilihan ini adalah salah satu yang paling baik untuk dipertimbangkan oleh pemerintah dalam menyusun Perppu Penundaan Pilkada . Jika demikan ke depan Indonesia hanya akan punya 2 hari pemilu saja: pemilu serentak nasional, dan 2 tahun setelahnya dilaksanakan pemilu serentak lokal.

Desain Pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal itu lebih jauh akan menyederhanakan sistem kepemiluan kita. Penguatan institusional partai politik peserta pemilu dilakukan. Memudahkan kerja penyelenggara pemilu, apalagi jika mampu mengadopsi sistem pemungutan suara secara E-Voting. Maka sistem pemilu akan semakin memudahkan penyelenggara dalam melakukan rekapitulasi hasil pemilu sekaligus memudahkan masyarakat dalam menyalurkan hak pilihnya. Namun tentu harus ada jaminan keamanan dan kerahasiaan agar tidak dapat di manipulasi oleh pihak-pihak yang berkompetisi untuk memenangkan pemilu.

Dengan arah penataan jadwal pemilu yang menuju kepada pemilu serentak nasional dan serentak lokal, tentu persiapan Perppu Pilkada ini diharapkan juga sekaligus mengatur jadwal pelaksanaan pilkada serentak transisi yang sisa satu kali lagi, yakni untuk daerah yang terakhir melaksanakan Pilkada 2015. Setelahnya, pemilihan kepala daerah akan dilangsungkan secara serentak di seluruh provinsi dan kabupaten/kota pada tahun 2024.

Dari data akhir masa jabatan (AMJ) yang ada, setidaknya enam provinsi dan 49 kabupaten/kota yang pilkadanya bisa ikut dibarengkan dengan 270 daerah yang tertunda pada pilkada serentak 2020 ini. Selanjutnya, bagi daerah yang AMJ kepala daerahnya setelah Juli 2022 sampai dengan 2024 pelaksanaan di gabung dengan pilkada serentak nasional pada tahun 2024. Dengan desain pilkada serentak lokal ini, selain lebih efektif, juga dapat menghemat anggaran pelaksanaan Pilkada yang selama ini membebani APBD setiap daerah.

Kemudian yang harus diatur lebih lanjut dalam materi muatan perppu penundaan pilkada yaitu mekanisme pengalihan dana pilkada untuk pencegahan dan penanganan covid 19. Ini harus segera ada regulasi yang jelas terkait penundaan Pilkada maupun soal penggunaan anggaran Pilkada yang belum digunakan, peralihan anggaran sisa dana Pilkada untuk penanganan Covid19, harus mempunyai dasar dan kepastian hukum yang jelas.

Oleh karena itu paling lambat akhir bulan April seharusnya Perppu Penundaan Pilkada sudah memberikan kepastian kepada masing-masing pemerintah daerah agar dapat menjadi pedoman dalam melakukan perubahan anggaran APBD . Sekarang ini pemerintah daerah dalam melakukan perubahan anggran hanya berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2020 tentang percepatan penanganan corona vorus disease 2019 di lingkungan pemerintah daerah. Namun terkait peralihan anggaran pilkada sama sekali belum ada regulasinya yang mengaturnya.

Oleh sebab itu, Perppu Pilkada perlu disegerakan, agar penundaan Pilkada 2020 dapat memiliki legitimasi hukum yang kuat. Semoga saja pemerintah dapat menyusun draft Perppu Penundaan Pilkada ini dengan memperhatikan beberapa hal yang perlu mendapatkan kepastian hukum , baik dalam penentuan opsi jadwal pilkada, penyesuaian desain pilkada serentak, dan mekanisme peralihan anggaran dana pilkada untuk penanganan covid 19. **

Tidak ada komentar

Profil