Page Nav

HIDE

Grid

GRID_STYLE

Classic Header

{fbt_classic_header}

Header

//

Breaking News:

latest

PEMBEBASAN NARAPIDANA DITENGAH PANDEMI GLOBAL COVID-19

Rusdianto Sudirman, S.H, M.H., (Pengajar Hukum Tata Negara IAIN Parepare) Senin 6 April 2020 yang lalu penulis mendapatkan...





Rusdianto Sudirman, S.H, M.H.,
(Pengajar Hukum Tata Negara IAIN Parepare)

Senin 6 April 2020 yang lalu penulis mendapatkan pertanyaan dari salah seorang mahasiswa pada saat melakukan kajian online yang dilaksanakan DEMA IAIN Parepare terkait pembebasan Narapidana Koruptor untuk mencegah penyebaran civid 19. Namun karena keterbatasan waktu pertanyaan tersebut tidak sempat penulis jawab mengingat tema kajian malam itu terkait penerapan lockdown di indonesia. Maka dalam tulisan ini penulis akan mencoba menulis secara komprehensif terkait pembebasan Narapidana secara umum ditengah pandemi global covid 19.

Tanggal 30 Maret lalu Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengeluarkan Keputusan Menteri Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.
Di dalam keputusan itu diatur bahwa asimilasi dilakukan terhadap narapidana yang 2/3 masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31 Desember 2020, anak yang ½ masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31 Desember 2020. Ketentuan ini tidak berlaku bagi narapidana dan anak yang terkait dengan PP Nomor 99/2012.

Untuk integrasi (seperti pembebasan bersyarat) dilakukan terhadap narapidana yang telah menjalani 2/3 masa pidana, anak yang telah menjalani ½ masa pidana. Ketentuan ini juga tidak berlaku bagi narapidana dan anak yang terkait pengaturan PP 99/2012. Berdasarkan kepmen ini diperkirakan terdapat lebih dari 30.000 narapidana dan anak yang akan dibebaskan.

Terkait Napi Koruptor

Sebenarnya banyak opsi lain yang bisa dilakukan pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid-19 di lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan tanpa harus melepaskan narapidana korupsi. Melepaskan napi korupsi hanya akan melukai rasa keadilan masyarakat. Terkait revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 guna mencegah penyebaran Covid-19 di lembaga pemasyarakatan (lapas) atau rumah tahanan (rutan)akan menjadi celah untuk membebaskan Napi Koruptor. Karena PP itu mengatur pengecualian pemberian potongan hukuman, asimilasi, dan pembebasan bersyarat bagi napi korupsi, terorisme, dan narkotika.

Jika alasan pemerintah bahwa over kapasitas dilapas berpotensi menyebarnya virus covid 19, justru sebenarnya Lapas dan rutan yang melebihi kapasitas bukan karena narapidana korupsi, melainkan karena perkara-perkara tindak pidana ringan selalu berakhir dengan pemenjaraan, apalagi dibeberapa lapas Napi korupsi mendapatkan sel khusus yang fasilitasnya lebih eksklusif dibandingkan dengan Napi lainnya.

Selain itu, over kapasitas di lapas di akibatkan karena banyaknya kasus pidana narkotika yang melibatkan pencandu (bukan pengedar) yang berakhir di penjara. Padahal, rehabilitasi lebih layak untuk mereka. Karena itu, jika ingin mengurangi kepadatan di lapas atau rutan untuk mencegah penyebaran Covid-19, lebih baik para pencandu yang dipenjara dialihkan ke pusat-pusat rehabilitasi


Haruskah Napi dibebaskan?

Istilah ”dibebaskan” sebenarnya tidak tepat untuk digunakan karena yang dilakukan hanya melanjutkan masa pembinaan di luar Lapas untuk asimilasi dan mulai dilakukannya masa pembimbingan di masyarakat untuk integrasi. Dengan kata lain, selama menjalani pembinaan/pembimbingan di luar Lapas tetap akan dilakukan pengawasan oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas). Namun, muncul pertanyaan, apakah memang melepaskan narapidana/anak ini merupakan cara yang tepat untuk mencegah peredaran Covid-19 di dalam Lapas atau rutan?

Seperti yang telah di bahas sebelumnya, Latar belakang paling utama dari kebijakan pembebasan napi di dalam Lapas/rutan adalah over kapastitas (overcrowded). Menerapkan physical distancing tentu sangat sulit dilakukan. Kepadatan ini pula yang menyebabkan rentannya penyakit, tidak hanya Covid-19. Karenanya, secara subjektif penulis berpandangan, melepaskan narapidana/anak yang sudah memenuhi ketentuan waktu untuk mendapatkan asimilasi dan reintegrasi merupakan kebijakan yang tepat.

Akan tetapi, kontroversi muncul terhadap narapidana yang termasuk dalam kategori yang diatur di dalam PP Nomor 99/2012 mengenai pemenuhan hak-hak warga binaan. Di dalam PP ini terdapat ketentuan remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat yang berbeda antara narapidana umumnya dan narapidana korupsi, terorisme, hingga narkotika. Bila untuk narapidana umum asimilasi sudah bisa dilakukan setelah menjalani ½ masa pidana, untuk narapidana khusus baru bisa diberikan setelah menjalani 2/3 masa pidana.

Untuk reintegrasi (pembebasan bersyarat), narapidana umum sudah bisa diberikan ketika sudah menjalani 2/3 masa pidana, sedangkan untuk narapidana khusus terdapat tambahan yaitu telah menjalani asimilasi paling sedikit ½ dari sisa masa pidana yang wajib dijalani dan bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kejahatan. Untuk narapidana khusus ini, baik untuk asimilasi maupun pembebasan bersyarat, harus mendapatkan rekomendasi dari lembaga terkait (seperti BNN untuk narkotika atau BNPT untuk terorisme).

Kepmen yang di keluarkan Menkumham 30 Maret yang lalu telah menyebutkan bahwa yang akan dibebaskan adalah narapidana yang tidak diatur oleh PP Nomor 99/2012. Artinya, tidak termasuk mereka yang dipidana penjara karena melakukan terorisme, korupsi, narkotika, atau pelanggaran hak asasi manusia berat. Pertanyaannya, apakah mereka yang masuk dalam kategori ini tidak bisa dilakukan kebijakan yang sama?

Kondisi di dalam lapas, khususnya komposisi narapidana, dapat dijadikan pertimbangan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Data per Februari 2020, dengan total narapidana sebanyak 204.393 dan narapidana khusus 144.822 orang atau sebesar 70.85%. Khusus untuk narapidana narkotika berjumlah 138.052 (67,54% dari total narapidana). Dari jumlah narapidana narkotika ini, 91.312 (44,67%) adalah bandar atau pengedar 46.740 (22,86%) adalah pengguna. (Sumber data : Sindonews.com) 
Berdasarkan data diatas, terlihat bahwa mayoritas jumlah narapidana justru berstatus narapidana khusus. Karenanya, apabila mengurangi kepadatan adalah keharusan dalam situasi pandemi Covid-19 ini, mengikutkan mereka yang diatur di dalam PP Nomor 99/2012 adalah keharusan.

Prioritas Napi yang dibebaskan

Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk membuat prioritas tentang siapa saja yang dapat dikeluarkan atau dibebaskan untuk mengurangi kepadatan. Hal ini sekaligus mencegah peredaran Covid-19, yaitu melihat subjek narapidana dan melihat jenis tindak pidana (kejahatan)yang dilakukan. Untuk subjek, anak harus mendapatkan prioritas, termasuk narapidana yang masuk dalam kriteria lanjut usia yang dinilai rawan untuk penyakit menukar seperti Covid-19. 

Termasuk bila ada narapidana perempuan yang sedang hamil atau mengasuh anak yang berusia di bawah dua tahun di dalam Lapas. Apabila kriteria subjek ini belum memenuhi ketentuan kepmen bertanggal 30 Maret tersebut, maka harus diberikan perhatian yang sangat khusus, seperti memberikan penempatan dan perlakuan khusus. Berdasarkan tipologi, di antara narapidana umum, dapat diprioritaskan untuk mereka yang masuk di dalam kategori kejahatan terkait properti (Pasal 362 dan 363 KUHP), tidak melibatkan kekerasan, dan bukan merupakan pengulangan kejahatan (residivis).

Kejahatan terkait properti secara kriminologis dilatarbelakangi motif ekonomi. Kejahatan yang mereka lakukan lebih merupakan faktor ekonomi karena kebutuhan hidup. Inilah mengapa ada pertimbangan lain, yaitu bukan pengulangan dan tidak dengan kekerasan. Hal ini karena bila kejahatan terkait properti dilakukan sebagai pengulangan (residivisme) maka pelaku sebenarnya sudah dapat dikategorikan sebagai karier kriminal.

Berdasarkan tipologinya, penyalah guna narkotika juga dapat dikategorikan pelaku kejahatan yang tidak berbahaya. Kerugian utama yang ditimbulkan adalah rusaknya kesehatan pelaku sehingga ada yang menyebutnya sebagai victimless crime (”kejahatan tanpa korban”). Dengan mempertimbangkan jumlah narapidana dalam kategori penyalah guna ini cukup besar proporsinya (22.86%) dari jumlah total narapidana, maka narapidana ini semestinya masuk di dalam prioritas.

Selain itu, fakta bahwa penyalahgunaan membutuhkan rehabilitasi, maka mengurung mereka di dalam Lapas bukanlah hal yang tepat. Kondisi kesehatan yang menurun hanya akan menambah besar risiko narapidana tertular berbagai penyakit, khususnya Covid-19. Karenanya, penulis sendiri berpendapat, perlu perubahan kebijakan mereka yang berstatus narapidana khusus agar dapat masuk di dalam prioritas yang dapat dilepaskan/dibebaskan sebagai bagian upaya pencegahan Covid-19 di dalam Lapas/rutan.

Penulis juga berpandangan, PP Nomor 99/2012 bukan merupakan kebijakan yang tepat dalam konteks pemasyarakatan, mengingat “memperberat” hukuman bukanlah sesuatu yang harus dibebankan kepada pemasyarakatan, khususnya Lapas sebagai pelaksana pidana. Terlepas dari hal ini, bila memang memunculkan kontroversi, Kemenkumham dapat mengajukan pengecualian untuk mereka yang berstatus penyalah guna terlebih dulu. 

Maka dari itu, jangan sampai masyarakat menilai keputusan melepaskan/membebaskan ini hanyalah cara untuk mengurangi kepadatan di dalam Lapas/rutan sehingga dapat diisi dengan tahanan/narapidana baru. Dalam Penegakan hukum, mengejar penjahat dilakukannya penahanan, bila diperlukan, adalah sesuatu yang tidak bisa dihentikan sehingga menjadi narapidana baru bagi LP/rutan. Perlu diingat, narapidana baru adalah resiko besar penyebaran. Sehingga penyidik perlu diikutkan dalam pencegahan dengan mengambil bentuk alternatif penahanan (penahanan rumah atau kota). Demikian pula dengan putusan hakim, memutus pidana non penjara untuk kejahatan tertentu, seperti dua tipologi yang diuraikan diatas.

Jadi, pembebasan narapidana ditengah kondisi pandemi global covid 19 memang perlu dilakukan sebagai wujud pemenuhan hak-hak narapidana. Tapi tentu harus di lakukan dengan pertimbangan yang beralasan hukum dan tidak melukai rasa keadilan hukum masyarakat.**

Tidak ada komentar

Profil